Sarjana Pengangguran

Posted by Pelangi Horison 17 Juli 2012 0 Comment

Pendahuluan

Pengangguran di Indonesia saat ini telah menjadi problem serius, terutama pengangguran sarjana. Data menunjukkan,bahwa angka kelulusan perguruan tinggi (PTN dan PTS) setiap tahun saat ini meluluskan 150 ribu orang sarjana. Dari jumlah tersebut, kurang lebih hanya 60.000 orang yang terserap lapangan kerja. Berarti terdapat pengangguran sarjana baru sebanyak kurang lebih 90.000 setiap tahun.1Berdasarkan data tersebut, apa yang harus dilakukan oleh penyelenggara-penyelenggara pendidikan, khususnya Perguruan Tinggi dalam mendesain dan mengelola pendidikan?


Mengapa Pengangguran?

Penelitian yang dilakukan oleh Prof. Fazlur Rahman terhadap pendidikan dan intelektualitas di negara-negara Turki, Mesir dengan al-Azharnya, Iran, Pakistan dan Indonesia, maka Fazlur Rahman sampai pada kesimpulan, bahwa: “pendidikan yang kreatif di kalangan masyarakat muslim tidak terjadi, karena dua alasan. Pertama, semacam penerusan yang pasif dan absurd atas sistem pendidikan masa penjajahan, atau dalam kasus Turki, taqlid yang membudak kepada model Barat. Kedua, keterpesonaan para perencana pendidikan oleh ideologi kemajuan materiil. Keterpesonaan ini dirangkapi oleh kebutuhan akan kenyataan bahwa teknologi tidak akan dapat memperbaiki masyarakat bila pikiran masyarakat itu tidak diubah, bila masyarakat tidak diberi motivasi yang baru. Ini hanya bisa dilakukan di kalangan masyarakat-masyarakat muslim dengan mengaitkan teknologi dengan tujuan yang lebih tinggi yang dinyatakan dan dirumuskan secara kongkrit. Seandainya ini dilakukan, Islam tentu bisa menjadi katalisator kemajuan yang hebat luar biasa, karena tujuan menghilangkan kesengsaraan dan melenyapkan kemiskinan demikian jelas digariskan dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul.”2Tetapi di samping kedua faktor di atas, lanjutnya, terdapat faktor lain yang justru lebih kuat dan lebih mendalam, yaitu kelompok elit yang berpendidikan modern dinegeri-negeri tersebut, khususnya yang menjalankan roda pemerintahan, tak mempunyai keberanian untuk menghadapi situasi dan mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah. Karena memang negara-negara berkembang memiliki watak yang “lunak”. Mengapa lunak,karena adanya kesenjangan yang besar antara kebodohan dan konservatifme massa rakyat dengan modernitas (ingat, bukan modernisme) elite penguasa. Sayangnya, satu-satunya tindakan nyata yang bisa menjembatani kesenjangan pendidikan antara mereka diberi prioritas yang rendah sekali dalam strategi perencanaan negeri-negeri tersebut, yang berakibat tidak adanya komunikasi antara keduanya dan munculnya sosok pembangunan yang sangat tidak seimbang. Juga, kelompok elite penguasa tak pernah berani mengundang permusuhan yang eksplisit dari massa rakyat, dan karenanya tak mau melakukan sesuatu yang tak populer, yakni melaksanakan pembaruan yang nyata di sektor sosial, termasuk pendidikan, yang secara kultur peka. Dan tanpa imbangan pembaruan “sosial”, pembaruan ekonomi murni tidak akan berjalan.3Selain itu juga terdapat ketidakserasian antara kelompok modern dan kelompok tradisional dengan beragam persepsi dan titik tekan. Sebagian kelompok modern ingin menghilangkan pendidikan agama demi pendidikan sekuler seperti yang dilakukan Kemal Ataturk (walaupun kita akan segera melihat adanya sesuatu yang terjadi pada Turki dimasa post-Kemalis); yang lain lebih suka membiarkan keduanya terpisah, dan dengan demikian menciptakan dua bangsa di satu negeri atau dua pikiran dalam diri satu individu. Sejauh ini strategi yang paling umum dari para perencana pendidikan adalah “mencampur” kedua unsur tersebut dengan proporsi yang seringkali menguntungkan satu kelompok dan merugikan kelompok lain dan merupakan suatu eksperimen yang masih terlalu baru untuk bisa diramalkan hasilnya secara meyakinkan.

Pendidikan Kreatif

Proses pendidikan yang ideal adalah proses pendidikan yang dikemas dengan memperhatikan aspek-aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Jika Proses pendidikan dapat melaksanakan ketiga aspek tersebut secara seimbang, maka output pendidikan akan mampu mengantisipasi perubahan dan kemajuan zaman.5 Akan tetapi, proses pendidikan yang berlangsung saat ini di Indonesia, masih terlalu mementingkan perkembangan aspek kognitif pada tataran pengetahuan dengan mengabaikan persoalan kreatifitas peserta didik. Akibatnya, output pendidikan saat ini tidak mampu berdiri di atas kemampuannya sendiri. Ratusan ribu sarjana menganggur. Salah satu sebabnya adalah mereka tidak memiliki kreativitas. Akibatnya, mereka lebih suka tergantung pada orang lain. Cita-cita favoritnya adalah menjadi pegawai negeri. Padahal pemerintah telah memberlakukan kebijakan zero growth dalam rekrutmen pegawai negeri.6Proses pembelajaran di sekolah lebih mementingkan target pencapaian kurikulum dibanding penghayatan isi kurikulum secara imajinatif dan kreatif. Demikian halnya dengan proses pembelajaran di perguruan tinggi. Gejala ini tampak sejak proses pendidikan pada tingkat Dasar sampai pendidikan tingkat tinggi. Sejak memasuki sekolah tingkat Dasar sampai tingkat Menengah, bahkan menjelang SPMB, anak-anak masa kini sudah dikondisikan untuk mencapaihasil belajar dalam arti kognitif setinggi mungkin. Para orang tua mengirim anak-anak mereka ke lembaga les privat, agar ketika mengikuti Ujian Akhir Negara nanti meraih NEM tinggi danhttp://www.blogger.com/img/blank.gif akhirnya lulus tes di perguruan tinggi favorit. Para orang tua lupa, bahwa dengan hanya mengejar NEM tinggi melalui les privat akan merugikan perkembangan kreativitas anak-anak mereka. Mengapa demikian? Karena lembaga les privat dalam proses pembelajarannya seringkali menggunakan pendekatan drill, tanpa memberi kesempatan yang luas untuk berpikir secara imajinatif dan hipotetik. Berpikir secara imajinatif dan hipotetik dapat dilatih melalui pendekatan problem solving, discovery dan inquiry. Membiasakan peserta didik,baik siswa maupun mahasiswa, berpikir secara hipotetik akan memperkaya imajinansi, sehingga mendorong mereka untuk berprilaku kreatif. Hanya saja, pendekatan ini jarang diakomodasikan dalam proses pembelajaran hampir di semua jenjang. Pembelajaran dengan pendekatan ceramah masih mendominasi “ritual” proses pendidikan kita. Akibatnya, peserta didik secara kognitif mengetahui berbagai teori, namun tidak tahu untuk apa teori itu. Download Artikel Lengkap

Baca Selengkapnya ....
Panduan blog dan SEO support Jual Online Baju Wanita - Original design by Bamz | Copyright of Belajar Ngeblog.